Tempuh Gembulan Glondongan Kayu Demi Mengisi Daya HP dan Mencari Sinyal

1 day ago 5
Tempuh Gembulan Glondongan Kayu Demi Mengisi Daya HP dan Mencari Sinyal Seorang warga Tukka mengisi daya ponselnya di luar desa akibat listrik dan jaringan telepon di kampungnya masih padam total pasca bencana. (MI/Januari Hutabarat)

DI tengah tumpukan lumpur, gembulan glondongan kayu, dan puing bangunan yang masih menutup banyak sudut Tapanuli Tengah pasca banjir bandang dan longsor, terselip kisah-kisah kecil tentang perjuangan warga bertahan hidup. Kisah yang sering luput dari pemberitaan, namun justru menunjukkan bagaimana kerasnya situasi di lapangan.

Sejak aliran listrik padam dan jaringan seluler mati total, warga Desa Sitiotio, Kecamatan Tukka, hidup dalam keterisolasian. Tidak ada kabar dari luar, tidak ada informasi mengenai kondisi keluarga, dan tidak ada kepastian kapan bantuan tiba.

Di antara mereka ada Megawati Gulo, seorang gadis yang sejak awal bencana hanya bisa menggantungkan harapannya pada kabar baik. Namun hari demi hari berjalan, malam demi malam datang dalam gelap pekat, dan ponselnya satu-satunya alat komunikasi menjadi benda mati yang tak mampu membantu apa-apa.

“Di kampung, jaringan PLN masih padam. Sinyal telepon juga tidak ada sama sekali,” ujarnya lirih, Jumat (6/12). Matanya menunjukkan rasa lelah yang dalam, bukan hanya karena perjalanan berat, tetapi juga karena kesedihan yang tak bisa ia ceritakan.

Pada hari ketiga pasca banjir, Megawati mengambil keputusan berani menempuh perjalanan lebih dari 4 kilometer, melewati jalan berlumpur dan tumpukan batang kayu besar yang berserakan, menuju titik yang masih memiliki listrik dan sinyal seluler.

Perjalanan itu bukan perkara mudah. Ia harus memanjat gundukan gelondongan kayu yang menutup jalan, melintasi jembatan darurat yang licin, dan sesekali menghentikan kendaraan yang kebetulan lewat untuk meminta tumpangan.

Setibanya di lokasi yang masih terhubung dengan listrik, ia mendapati puluhan warga lain telah menunggu. Mereka duduk di teras rumah penduduk, warung kecil, atau di pinggir jalan menjaga ponsel mereka yang sedang mengisi daya, seakan menjaga harapan mereka sendiri.

“Kami benar-benar terputus. Tidak tahu apa yang terjadi di luar, tidak tahu kapan bantuan tiba. HP ini satu satunya harapan kami,” ujarnya sambil menatap layar ponselnya yang kembali menyala.

Bagi Megawati, listrik dan sinyal bukan lagi sekadar fasilitas. Keduanya adalah simbol keselamatan cara untuk memberi kabar bahwa keluarganya baik-baik saja, sekaligus menerima informasi penting mengenai cuaca, bantuan, dan kondisi terkini.

Ia berharap pemerintah segera memulihkan layanan listrik dan jaringan seluler di wilayah terdampak. “Kami butuh informasi. Kami butuh kepastian. Tanpa itu, kami seperti hidup dalam gelap yang tidak ada ujungnya,” katanya.

Kisah Megawati hanyalah satu dari ratusan kisah warga Tapanuli Tengah yang masih bertahan di tengah bencana besar ini. Bencana yang bukan hanya merusak rumah dan fasilitas umum, tetapi juga memutus hubungan warga dengan dunia luar.

Hal serupa dialami Ida Saruksuk, warga Sibulan, Kecamatan Pandan. Setiap sore, ia harus berjalan menuju Gedung Olahraga (GOR) Pandan untuk mengisi daya ponselnya agar bisa berkomunikasi dengan keluarganya di luar daerah.

“Setiap sore saya ke GOR Pandan demi mengisi baterai HP. Di kampung masih tidak ada listrik juga sinyal telepon,” ujarnya singkat.

Sementara alat berat bekerja membersihkan material longsor dan tim darurat terus memulihkan fasilitas yang rusak, warga seperti Megawati dan Ida masih bertahan melangkah kecil namun penuh harapan di tengah situasi yang masih gelap dan belum pasti. (H-1)

Read Entire Article