Koalisi Sipil Tolak Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD

1 day ago 8

KOALISI Sipil untuk Kodifikasi Undang-Undang Pemilu menolak wacana yang dilontarkan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi tidak langsung melalui DPRD. Koalisi menyebut gagasan itu inkonstitusional dan menggerus kedaulatan rakyat. 

“Mengembalikan Pilkada menjadi tidak langsung melalui DPRD adalah langkah keliru dan tidak menyentuh akar masalah,” tulis pernyataan bersama koalisi, dikutip, Ahad, 7 Desember 2025. 

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

Prabowo menilai model itu membuat ongkos politik jauh lebih murah. Ia menilai, jika masyarakat sudah memilih DPRD kabupaten dan provinsi, maka DPRD seharusnya dapat langsung memilih gubernur dan bupati tanpa perlu proses pemilihan terpisah. Hal itu disampaikan pada Puncak HUT ke-61 Partai Golkar di Istora Senayan, GBK, Jakarta, Jumat, 5 Desember 2025.

“Jadi saya sendiri condong, saya akan mengajak kekuatan politik berani memberi solusi kepada rakyat. Demokratis tapi jangan buang-buang uang. Kalau sudah sekali memilih DPRD kabupaten, DPRD provinsi, ya kenapa nggak langsung saja pilih gubernurnya dan bupatinya, selesai,” kata Prabowo. 

Selain itu, wacana ini telah berulang kali dilontarkan oleh Bahlil. Salah satunya ketika membuka Musyawarah Daerah DPD I Partai Golkar Sulawesi Tenggara di sebuah hotel di Kendari, November lalu. “Setahun lalu kami menyampaikan, kalau bisa Pilkada dipilih lewat DPRD saja. Banyak pro kontra, tapi setelah kami mengkaji, alangkah lebih baiknya memang kita lakukan sesuai dengan pemilihan lewat DPR Kabupaten/Kota biar tidak lagi pusing-pusing," kata Bahlil di Istora Senayan, Jakarta, dikutip dari Antara

Koalisi menilai wacana tersebut menunjukkan sikap nirempati karena disampaikan di tengah kegagapan pemerintah merespons darurat bencana di Sumatera. Mereka menyebut persoalan biaya politik tidak disebabkan oleh mekanisme pilkada langsung, melainkan oleh “biaya kampanye yang tidak terkendali—termasuk praktik politik uang seperti jual beli suara maupun jual beli kandidasi,” tulis koalisi. 

Mereka menegaskan politik uang berlangsung masif di seluruh arena elektoral dan bahwa tingginya beban kandidasi bersumber dari mahar politik, survei elektabilitas, hingga belanja jaringan politik yang tidak transparan. Langkah menghapus pilkada langsung dinilai tidak konsisten dan berpotensi membuka kembali ruang transaksi gelap di parlemen daerah.

Koalisi mengingatkan upaya serupa pernah terjadi pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan dinilai sebagai kemunduran demokrasi karena mengurangi hak rakyat untuk menentukan pemimpinnya secara langsung. Mereka menilai pilkada langsung merupakan instrumen penting sirkulasi kepemimpinan nasional setelah reformasi.

Mereka meminta pemerintah dan DPR fokus memperbaiki tata kelola pemilu dengan memperkuat pengaturan dana kampanye, meningkatkan efektivitas penegakan hukum, memperbaiki sistem audit, mendorong transparansi pendanaan politik, dan mempercepat penerapan teknologi seperti e-recap. Mereka juga menuntut pemerintah menjalankan Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 mengenai pemilu serentak nasional dan daerah.

Koalisi mendorong pendanaan pilkada sepenuhnya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar tidak terjadi ketimpangan anggaran antardaerah, serta mengajak publik, akademisi, dan media untuk mengawal pilkada langsung sebagai instrumen kontrol rakyat terhadap kekuasaan lokal.

Koalisi terdiri dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas, Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Themis Indonesia, Migrant CARE, Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), dan Remotivi.

Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Read Entire Article